Paradigma Mengelola Sampah

Posted by adeska on 01 Agustus 2008

Tidak dipungkiri lagi, sampah dengan segala problematikanya telah menjadi bagian dari dinamika kehidupan kita sehari-hari. Tidak hanya di tingkat perseorangan atau rumah tangga, problema sampah telah menjadi masalah nasional bahkan internasional. Ditengarai, sampah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan global (global warming) akibat gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) --sebagai hasil penguraian dan pembakaran sampah-- yang naik ke udara dan terakumulasi di atmosfir bumi.
Sampah yang tercipta akan mengalami dekomposisi/penguraian dalam jangka waktu yang berbeda-beda sesuai dengan jenis bahan dasar sampah. Namun jumlah sampah terurai tidak berbanding lurus dengan volume sampah baru yang tercipta. Sampah baru terus bertambah, sementara sampah lama belum musnah/terurai sempurna. Lingkaran setan ini menyebabkan masalah sampah menjadi semakin rumit diatasi dan dampak yang harus ditanggung terutama oleh masyarakat semakin meluas, baik dari segi ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Menyikapi masalah sampah ini, kata yang tepat untuk diterapkan adalah istilah mengelola. Mengapa mengelola? Karena sifat sampah yang terus-menerus ada dan akan selalu tercipta sepanjang siklus kehidupan manusia, sehingga belumlah bisa untuk dimusnahkan secara tuntas.

Mengubah Paradigma. Menyikapi masalah sampah, hal mendasar yang harus dibenahi dan ditata lebih dahulu adalah paradigma dan sudut pandang masyarakat terhadap sampah. Lima hal mendasar dalam kaitannya dengan paradigma dan sudut pandang ini, yaitu:
  1. Setiap orang adalah produsen sampah, dan semestinya memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannya. Bentuk tanggung jawab perseorangan yang paling ringan adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Pada industri, tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk pengelolaan limbah hasil samping proses produksi dan penyikapan terhadap barang produksinya yang telah habis masa pakai.
  2. Setiap sampah memberi pengaruh terhadap kualitas hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Sampah yang tidak terkelola baik akan menimbulkan pencemaran lingkungan hidup dan lingkungan yang tercemar berpotensi menurunkan kualitas hidup manusia. Akibat pengelolaan sampah yang keliru, dampaknya dapat dirasakan oleh beberapa generasi.
  3. Masalah sampah adalah masalah bersama, sehingga pengelolaan dan penanganan masalah sampah tidak dapat dilimpahkan hanya kepada pihak tertentu. Harus ada kerjasama komprehensif dan sinergis antara masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. 
  4. Dalam mengkonsumsi/menggunakan suatu barang, hendaknya dilandasi pemikiran dan prinsip-prinsip bijak dalam kaitannya dengan barang konsumsi, yaitu reduce (mengurangi penggunaan material yang cepat menjadi sampah), reuse (menggunakan kembali barang yang masih dapat dipakai), recycle (daur ulang sampah menjadi barang bernilai guna), dan replace (mengganti penggunaan barang dengan yang tahan lama dan ramah lingkungan). Dengan penerapan prinsip ini, terkandung upaya untuk menjadi konsumen yang cerdas dan sadar bagaimana menciptakan tambahan nilai guna (manfaat) suatu barang. 
  5. Memunculkan kesadaran, bahwa seluruh elemen masyarakat, hidup di atas bumi yang sama. Karena hidup di bumi yang sama, bila ada satu wilayah bermasalah maka yang lain pun merasakan dampak yang sama. Begitupun sampah. Ketika sampah tidak ditangani dengan benar di wilayah hulu sungai, maka dampaknya juga di rasakan oleh warga di hilir sungai. Dampaknya berupa penumpukan sampah di bantaran sungai, atau pendangkalan dasar sungai.
Proses Pembelajaran dan Pendampingan. Agar lima paradigma di atas tertanam kuat di dalam pikiran dan tindakan, diperlukan proses pembelajaran dan pendampingan terus-menerus. Proses ini melibatkan pihak-pihak yang memiliki tempat khusus di dalam kehidupan masyarakat. Misalnya guru terhadap murid, dosen dengan mahasiswa, tuan guru/ulama terhadap ummatnya, pemerintah dengan masyarakat. Jika perlu, disusun suatu kurikulum dengan pembahasan spesifik terkait sampah, pengelolaan dan permasalahannya, yang diarahkan untuk diwujudkan dengan tindakan nyata dalam perilaku kehidupan. Misalnya, bagaimana mengelola sampah secara baik dan benar yang intinya dimulai dari produsen/penghasil sampah (lingkungan rumah tangga) dengan cara melakukan pengelompokan sampah berdasarkan jenisnya sebelum diletakkan di tempat sampah sementara. Atau, bagaimana mengolah sampah tertentu menjadi produk ‘baru’ yang bernilai guna dan bernilai ekonomis. Seperti berkreasi dengan mengolah sampah menjadi barang-barang kerajinan daur ulang, membuat kompos yang berasal dari sampah basah, dan bentuk inovasi serta kreasi lain dalam kaitannya dengan pemaksimalan potensi dalam sampah. Ini semua membutuhkan proses pembelajaran dan pendampingan intensif dan kontinu. Dengan penguatan paradigma, didukung pembelajaran dan pendampingan serta pengejawantahan dalam tindakan nyata, diharapkan terbentuk kebiasaan dan perilaku positif dalam pengelolaan sampah. Dari kebiasaan dan perilaku positif ini, dapat diharapkan akan terlahir budaya masyarakat yang cinta kebersihan dan keindahan lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah juga dibutuhkan. Dalam skala tertentu, terdapat kendala keterbatasan kemampuan masyarakat untuk mengolah dan mengelola sampah. Tidak semua jenis sampah dapat tertangani dan dikelola oleh masyarakat, sehingga sampah tetap harus dibuang ke tempat pembuangan sampah. Di sinilah pemerintah dan swasta (pemilik modal) memiliki peranan yang tidak kecil dalam pengelolaan sampah. Misalnya dengan menciptakan sistem pengambilan jenis sampah tertentu dengan jadwal yang teratur, di titik-titik lokasi pembuangan sampah sementara, untuk kemudian dikelola kembali di lokasi tempat pembuangan akhir.



Digg Del.icio.us StumbleUpon Reddit RSS

{ 2 comments... read them below or add one }

H. Asrul Hoesein mengatakan...

Permasalahan sampah di Indonesia tidak kunjung selesai karena :
1) Pemerintah monopoli pengelolaan sampah yg kontra regulasi, pemerintah pusat bukan berpikir teknis, serahkan ke pemda untuk urusan teknisnya. Ini yg menjadi benang kusur selama ini. Maka terjadi pengelolaan secara parsial tanpa sinergitas yg sustainable atau tidak terprogram, masing2 bergerak dgn kemauannya sendiri.
2) Paradigma berpikir selalu atau hanya ke arah “sampah terurai” artinya sampah selalu dikonotasikan “sampah dibuang” maka terjadi lingkaran setan, tanpa solusi bijak
3) Harusnya paradigma bergeser ke “sampah di kelola” atau “sampah tidak dibuang” sampah bernilai ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di hulu, bukan di hilir pola berpikirnya.
4) Kesimpulannya; solusi sampah ada di hulu bukan di hilir.
Asrul: 08119772131

adeska mengatakan...

Subhaanallaah, terima kasih atas komentar, saran dan masukan Bapak H. Asrul.
Terkait pengelolaan sampah, mmg diperlukan sinergi yang saling mengisi, pembudayaan/pembiasaan sedari dini mindset sampah bukan sekedar Sampah.

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Sobat Blogger semua. Komentar Anda, mempermudah saya berkunjung balik.
So, silahkan isi lengkap URL Anda dengan format http://www.domainAnda.com.
Matur nuwun.