Mengasihani Diri Sendiri, Perlukah?

Posted by adeska on 17 Agustus 2008

Ada teman yang mengatakan, Mengasihani Diri Sendiri tidak menjadi langkah bijak untuk sebuah proses kemajuan diri dan penemuan solusi bagi masalah yang dihadapi. Mengasihani Diri Sendiri cenderung menciptakan purbasangka berupa menimpakan kesalahan kepada diri sendiri, sehingga menjebak pikiran dan rasa ke dalam kebimbangan rasa dan pikir. Alih-alih mengatasi masalah yang ada, mengasihani diri sendiri justru cenderung menciptakan masalah baru.

Namun sepenuhnya saya tidak bisa membenarkan pandangan teman tersebut. Mengasihani diri yang bagaimana dulu, itu permasalahannya. Jika mengasihani diri secara total dan menyeluruh tanpa reserve, maka ini saya sepakati sebagai proses yang negatif. Namun berbeda jika mengasihani diri ini dilakukan dalam rangka introspeksi, evaluasi diri untuk kemudian menciptakan kesadaran baru dan pencerahan diri, maka mengasihani diri (dalam takaran yang pas) ini, akan berefek positif bagi diri kita. Ia bisa menjadi kaca pembanding bagi diri kita, untuk tahu bagaimana harus bersikap.

Terkait mengasihani diri ini, saya ingin berbagi salah satu puisi karya Kahlil Gibran, berjudul Bangsa Kasihan:



Bangsa Kasihan
 
** Kahlil Gibran **



Kasihan bangsa yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen, dan meminum anggur yang ia tidak memerasnya.

Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan, dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa.


Sedianya puisi di atas mau saya bacakan tadi malam, saat acara Syukuran HUT ke-63 Kemerdekaan RI. Namun tidak jadi karena masalah waktu yang terbatas.

Menyimak puisi di atas, maka, perlukan kita mengasihani bangsa kita, yang notabene (juga) diri kita sendiri? Jawabnya, tanyakan pada rumput yang bergoyang?.... (Ebiet G. Ade).

 

Digg Del.icio.us StumbleUpon Reddit RSS

{ 4 comments... read them below or add one }

Anonim mengatakan...

Merdeka..!!
Semoga indonesia bisa cepat bangkit dari keterpurukan. tetap semangat

Anonim mengatakan...

Merdeka!!!...
Tetap semangat, apa pun yang terjadi. Terus berjuang...untuk hidup yang lebih baik dan lebih bermakna. :)

Anonim mengatakan...

Inget tahun 2003 dulu kita baca puisi ini pada upacara agustusan di Yap?

adeska mengatakan...

He eh, betul mb.....Ika.
Habisnya, puisi ini terus tetap relevan dengan kondisi bangsa kita, pun hingga saat ini.
Terima kasih sudah mampir ya.

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Sobat Blogger semua. Komentar Anda, mempermudah saya berkunjung balik.
So, silahkan isi lengkap URL Anda dengan format http://www.domainAnda.com.
Matur nuwun.