Kecerdasan Emosi – Emotional Quotient

Posted by adeska on 21 Januari 2009

Kecerdasan Emosi – Emotional Quotient

Bila kita mengamati dalam kehidupan sehari-hari, seberapa seringkah Anda mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang secara prestasi akademik tidak terlalu menonjol tetapi kehidupan mereka sukses lahir batin di masa-masa berikutnya? Dan pernahkah Anda mendapati realita bagaimana teman atau sahabat Anda yang dulunya juara kelas, dengan prestasi akademik yang dapat dibanggakan, saat ini kehidupannya biasa-biasa saja, seakan tidak selaras dengan capaian prestasi akademiknya kala itu? Apakah kecerdasan intelektual saja sudah cukup untuk menyikapi betapa tidak sederhananya kehidupan ini? Bila kita menganggap kecerdasan intelektual sudah cukup untuk bekal kita menjalani hidup, mungkin tulisan singkat berikut bisa disimak dan menjadi inspirasi bagi kita semua.

Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bagaimana gelar tinggi belum tentu berbanding lurus/sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali mereka yang berpendidikan formal lebih rendah, lebih berhasil di dunia pekerjaan. Mengapa? Perbedaannya terletak pada kecerdasan emosi (emotional quotient) yang mereka miliki.

Sebuah survey nasional di AS terkait kecerdasan emosi dan dunia kerja menelurkan hasil sebagai berikut: “Dalam dunia kerja, keterampilan teknik tidak seberapa penting bila dibandingkan dengan keterampilan dasar untuk beradaptasi (belajar) dalam pekerjaan: kemampuan mendengar dan berkomunikasi secara lisan, adaptasi, kreativitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama tim serta keinginan memberi kontribusi terhadap perusahaan”.

Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi satu-satunya landasan dan tolak ukur kualitas kinerja seseorang dalam pekerjaannya atau seberapa tinggi sukses yang mampu dicapai. Makalah McCleland tahun 1973 berjudul Testing for Competence Rather than Intelligence, “Seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri dan inisiatif, akan membedakan antara mereka yang sukses sebagai bintang kinerja dengan mereka yang hanya sebatas bertahan di lapangan pekerjaannya”.

Lalu, apa intinya? Bahwa, inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang sesungguhnya adalah kecerdasan emosi.

Kecerdasan emosi (emotional quotient / EQ) adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah kejujuran Anda kepada suara hati Anda. Tiga pertanyaan yang selanjutnya kita tanyakan kepada diri kita adalah: Apakah Anda jujur pada diri sendiri? Seberapa halus, dan cermat Anda merasakan perasaan terdalam pada diri Anda? Seberapa sering Anda peduli atau tidak mempedulikannya, saat ia menyeruak keluar dari batin terdalam diri Anda?

Suara hati itulah yang niscayanya menjadi pusat prinsip yang mampu memberi rasa aman, pedoman, kekuatan serta kebijaksanaan.

Covey berpendapat, “Disinilah Anda berurusan dengan visi dan nilai Anda. Disinilah Anda gunakan anugerah Anda –kesadaran diri (self awareness)—untuk memeriksa peta diri Anda, dan jika Anda menghargai prinsip yang benar, maka paradigma Anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan kenyataan di mana suara hati berperan sebagai kompasnya”.

Namun demikian, seringkali suara hati ini terbenam jauh di dalam diri kita. Suara hati tidak muncul, karena berbagai sebab, berbagai hal dan berbagai kondisi. Apakah yang menyebabkan itu semua. Pada kesempatan lain, akan dibahas mengenai apa saja belenggu-belenggu yang meredam hadirnya suara hati dalam kehidupan kita.

Note: dikutip dari buku Ary Ginanjar Agustian berjudul Emotional Spiritual Quotient.

Digg Del.icio.us StumbleUpon Reddit RSS

{ 17 comments... read them below or add one }

Anonim mengatakan...

pertamaxxx ga' yah!!

Anonim mengatakan...

@ budi tarihoran
yups, aku yg keduax saja. :)

Anonim mengatakan...

Memang benar kejadan seperti ini yang sering saya lihat, terutama kalau saya amati teman2 kuliah saya dulu. Walaupun ini tidak bisa di generalisir dan kasuistik, tapi kejadian ini sering saya temui. Diantara teman2 saya yang IPK-nya tiga koma, dalam kehidupannya sekarang, kok malah tidak sesukses teman2 yang IPK-nya pas2-an. Memang benar IQ dan EQ itu harus seimbang, tapi sebagai mahluk sosial terkadang EQ harus menjadi nomor 1.

salamsuper

Anonim mengatakan...

@ Toha : kita mengamati contoh2 yang sama, kang Toha. dan memang tidak selalu IQ tinggi menjamin hidup yang lebih baik. EQ jangan sampai terlupakan. juga SQ, untuk hidup lebih bermakna. Salam super

Anonim mengatakan...

Gimana cara mengukur kecerdasan emosi?

Anonim mengatakan...

@ Abi: kecerdasan emosi, terkait dengan apa yang kita rasakan dari perasaan kita. kecerdasan emosi dapat diukur, salah satunya dengan cara seberapa mampu kontrol/kendali kita terhadap emosi kita.

misalnya emosi marah. saat marah, kita tidak hanya sekedar marah dan melampiaskan luapan emosi marah kita thd sesuatu objek atau seseorang. apakah alasan kita utk marah sudah tepat? waktu kita utk marah telah sesuai? apakah tujuan kita utk marah sudah 'benar'? pilihan bagaimana cara kita marah, sudah tepat? bahkan untuk sekedar marah pun, kita perlu memiliki kendali yang benar dan baik terhadapnya. semoga tulisan singkat ini bisa menjawab.

Anonim mengatakan...

Untuk mengukur kecerdasan emosi gimana tuh kang Ades

Anonim mengatakan...

Hah??? kok komen saya yg kemarin tadi ga ada, sy kira komen yg kemarin lupa saya publish, sbab tadi benar2 tidak ada komennya, maaf jadi double post. Makasih kang tuk penjelesannya diatas.

Jadi dari jawaban diatas di perlukan berfikir yah untuk setiap emosi yg sedang menguasai diri kita.

Anonim mengatakan...

@ Kang Abi: It's ok, kang Abi.

Sebagai tambahan, Kang. Pernah mengalami situasi begini: ketika emosi benar-benar menguasai kita, mampukah kita berpikir secara penuh kesadaran? Yang saya alami saat itu, kemampuan berpikir seakan tertutupi oleh perasaan/emosi yang bergejolak. Jadi tidak bisa jernih berpikir. Maka yang bisa saya kedepankan di saat itu adalah suara hati.
melalui suara hati, dapat ditemukan/dilahirkan kembali keberimbangan dan keseimbangan antara emosi dan intelektualita kita, serta kendali atas keduanya.

Anonim mengatakan...

oh ternyata berhubungan banget dengan kejujuran ya

Anonim mengatakan...

dari pak Ari ya :) Sya bngga bsa jdi alumni ESQ (loh?!) Hehehehe,,, jgn2 pmlik blog ni jga lumni lg :D

Anonim mengatakan...

@ Bang Tony : Yups. erat kaitannya dengan jujur kepada suara hati kita.

@ Ardy Pratama: hehehe, betul mas Ardy. ternyata kita dipertemukan lewat dunia maya, ya. Alhamdulillah diberikan kesempatan utk ikut ESQ angkatan 33. note: ada wadah alumni berupa website lho. sila kunjungi kedai165[dot]com. Salam 165.

Anonim mengatakan...

Pagii!!! Hwkwkwkwkw... salam 165! Sgera ke kedai165...

Anonim mengatakan...

@ Ardy Pratama
Pagi, mas Ardy. wakakakkaakkkk...., Salam 165 juga. Hehehehe, satu alumni kita rupanya. :)
Sukses selalu ya...
Pagi!

maizul ackbar mengatakan...

menurut saya secara singkatnya adalah, bahwa emotional quotient adalah suatu cara untuk management emosi bagi diri sendiri, disertai dengan kejujuran dan kebeningan hati serta fikiran baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, sehingga kita bisa menempatkan emosi dan kemarahan kepada diri sendiri ataupun orang lain yang melakukan kesalahan, sehingga dapat memberikan suatu penjurian yang baik untuk emosi & kemarahan yang akan kita keluarkan secara bijak

Unknown mengatakan...

biasanya memang kepandaian seseorang bukan karena tingkat pencapaiannya semasa sekolah, tapi selesai itu ada EQ yg perlu diasah agar bisa terjaga dari serangan emosi yang menyesatkan pada halusinasi keberhasilan yg menyesatkan...
http://muliasri-muliasri-wirausahakoe.blogspot.com

Anonim mengatakan...

EQ harus nomor satu. kalau dipikir yaa, mungkin sama dengan attitude kaan? kesuksesan seseorang dinilai dari tiga hal yaitu: knowledge, skill, and attitude. somga bermanfaat buat kita yang mau berhasil or sukses amin

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Sobat Blogger semua. Komentar Anda, mempermudah saya berkunjung balik.
So, silahkan isi lengkap URL Anda dengan format http://www.domainAnda.com.
Matur nuwun.