Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Posted by adeska on 31 Januari 2009

Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Potensi besar yang dimiliki manusia, selain kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi adalah kecerdasan spiritual.

Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford University) mendefinisikan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient ) sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas, kaya dan mendalam; kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

SQ menjadi landasan yang diperlukan untuk memfungsikan dan mensinergikan IQ dan EQ secara integral, efektif dan menyeluruh. Melalui SQ, pemikiran, perilaku dan perihidup manusia diberi makna dan bermuatan makna spiritual.

Kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient ) menyadarkan kita akan tujuan hidup dan pemaknaan kehidupan yang kita jalani. Bahwa hidup memiliki arah dan tujuan hidup, bahwa setiap kehidupan memiliki pemaknaan yang tidak sekedar makna-makna bersifat duniawi.

Spiritual Quetient (kecerdasan spiritual) memformulasi dirinya melalui value yang terbit lewat suara hati. Secara halus dan subtil, ia menempati ruang di relung hati manusia. Dan suara hati melintasi waktu, tempat, ras, suku bangsa dan agama. Kecerdasan spiritual melintasi batas agama (religion). Meski demikian, pemaknaan yang mendalam dan lurus terhadap agama yang dianut akan menjadi landasan yang kuat bagi tumbuh dan berkembangnya suara hati dalam diri manusia.


Antara Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual

Daniel Goleman, seorang pakar kecerdasan emosi (Emotional Quotient) berpendapat bahwa peningkatan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ). Jika kemampuan murni kognitif (IQ) relatif tidak berubah, maka kecakapan emosi dapat dipelajari dan ditingkatkan secara signifikan. Dengan motivasi dan usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut.

Kecerdasan emosi ini dapat meningkat, dan dapat terus ditingkatkan sepanjang kita hidup.

Lalu, antara IQ dan EQ, lebih penting mana? Dari sudut pandang saya, saya memilih EQ dulu baru IQ. Secara kondisi normal saja, saya lebih suka berdiskusi dengan orang yang memiliki empati baik, simpati, pribadi yang hangat, bisa memahami dan mau mendengarkan perkataan orang lain, daripada ia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata namun miskin simpati, empati, pribadi yang dingin dan tidak mau memahami/mendengarkan perkataan orang lain. (Sobat sendiri mungkin punya pandangan lain? Silahkan berkomentar).

Namun demikian, pernahkah Anda mengalami hal demikian.
Suatu saat dalam hidup Anda, Anda dipertemukan dengan seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik. Orangnya simpatik, bisa berempati, pribadi yang hangat, mampu memahami orang lain, dan jika berdiskusi, terkesan memahami masalah kita dan mau mendengarkan segala permasalahan kita dengan sungguh-sungguh. Hingga suatu saat, ketika kita benar-benar percaya, ternyata akhirnya kepercayaan kita itu disalahgunakan olehnya?

Salah seorang sahabat saya, pernah mengalami hal demikian. Dan tidak dapat terkatakan betapa dalam rasa kecewanya.

Ini hanya contoh nyata yang bagitu "sederhana" saja, untuk mengatakan bahwa ternyata, kecerdasan emosi (EQ) saja belumlah cukup. Bagaimana kecerdasan emosi bisa disetir untuk hal-hal yang tidak menguntungkan sesama. Pada akhirnya, kita masih membutuhkan satu kecerdasan lagi, kecerdasan tertinggi kita, yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan yang menjadi pedoman, arah, dan tujuan untuk apa dan bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Agar prestasi duniawi yang kita capai, semakin bermakna dan tidak kehilangan arah. Karena selalu diarahkan oleh sang suara hati.

Digg Del.icio.us StumbleUpon Reddit RSS

{ 1 comments... read them below or add one }

Anirudh Kumar Satsangi mengatakan...

COMPREHENSIVE VIEW OF SCIENCE OF RELIGION (THEOLOGY)
A Scientific Understanding of Meditation and Yoga

In Bhagavad-Gita Lord SriKrishna says to Arjun:
“I taught this immortal Yoga to Vivasvan (sun-god), Vivasvan conveyed it to Manu(his son), and Manu imparted it to (his son) Iksvaku. Thus transmitted to succession from father to son, Arjun, this Yoga remained known to the Rajarisis (royal sages). It has however long since disappeared from this earth. The same ancient Yoga has this day been imparted to you by Me, because you are My devotee and friend, and also because this is a supreme secret”.

Yoga (Application) which was based on the control of the body physically and implied that a perfect control over the body and the senses led to knowledge of the ultimate reality. A detailed anatomical knowledge of the human body was necessary to the advancement of yoga and therefore those practising yoga had to keep in touch with medical knowledge. (Romila Thapar, A History of India, volume one).

I suggest : Mind and brain are two distinct things. Brain is anatomical entity whereas mind is functional entity. Mind can be defined as the function of autonomic nervous system (ANS). It is claimed that mind can be brought under conscious control through the practice of meditation. But how? ANS is largely under hypothalamic control which is situated very close to optic chiasma (sixth chakra or ajna chakra). Protracted practice of concentration to meditate at this region brings functions of ANS say mind under one’s conscious control.

Although Danah Zohar has coined the term Spiritual Quotient for the first time but she did not establish any mathematical relationship for this. Without establishing mathematical relationship spiritual intelligence can not be termed as spiritual quotient.

Deepak Chopra has given a formula of spiritual quotient in terms of Deed (D) and Ego (E). According to Deepak Chopra S.Q.=D/E. According to him if E is ‘zero’ the S.Q. will be infinite. This appears to be very fascinating but it is highly abstract which can not be measured experimentally accurately and precisely. However, this formula has immense value to understand S.Q.

I have also discovered a mathematical relationship for S.Q about eight years back in 2001. I have used physiological parameters which can be measured accurately and precisely and can be tested and verified experimentally. According to this formula S.Q. can be expressed as the ratio of parasympathetic dominance (P.D.) to sympathetic dominance (S.D.). Parasympathetic nervous system (PSNS) and sympathetic nervous system (SNS) are the two parts of the autonomic nervous system (ANS) which is largely under hypothalamic control. Hypothalamus is situated very close to the Sixth Chakra. During practice of meditation at Sixth Chakra these centres are galvanized which has very positive effect on practitioners spiritual, emotional, psychological and physical well being.

According to this relationship spiritual quotient can be written as:

S.Q. = P.D./S.D.

If the value of S.Q. comes >1 (greater than one), it can be assumed that the person is moving towards self-realisation and if the value of S.Q. comes <1 (smaller than one) it can be predicted that the person is living under stress.

This formula can be tested and verified experimentally.

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Sobat Blogger semua. Komentar Anda, mempermudah saya berkunjung balik.
So, silahkan isi lengkap URL Anda dengan format http://www.domainAnda.com.
Matur nuwun.